Pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan dan pondasi utama untuk
membangun peradaban bangsa. Kesadaran akan arti penting pendidikan akan
menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin dan masa depan warganya.
Oleh karena itu substansi pendidikan, materi pengajaran dan metodologi
pembelajaran, serta manajemen pendidikan yang akuntabel susah seharusnya
menjadi perhatian bagi para penyelenggara Negara. Terbukti bahwa
seluruh bangsa yang berhasil mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan
teknologi tinggi mesti disangga oleh kualitas pendidikan yang sangat
kokoh.
Seperti halnya jepang, bagaimana Negara tersebut bisa pulih dari
keterpurukan akibat bom atom yang menghujat Negara tersebut pada perang
dunia II Silam. Bukan berapa harta benda yang ada, bukan banyak rakyat
yang hidup, bukan berapa rakyat yang mati. Akan tetapi pemeritahan waktu
itu menanyakan “berapa guru yang masih hidup”. Artinya pemerintah tersebut yang diinginkan untuk dibenahi awal kali adalah pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mewarnai
kemerdekaan Negara Indonesia. Seperti kita ketahui bagaimana colonial
menerapkan politik eksploitasi yang mengakibatkan bangsa kita mengalami
hidup dalam kemelaratan dan kebodohan. Segala kebijakan politik
diarahkan kepada pengerukan sumber daya alam yang hanya untuk
kepentingan penjajah. Sebagai puncaknya, dengan adanya tanam paksa.
Menjadikan masyarakat Indonesia semakin tak berdaya melawan kemiskinan
dan penderitaan.
Hal tersebut menjadikan para tokoh-tokoh belanda yang berfahamkan
humanis dan sosial democrat berbicara. Mereka memaksa kolinial untuk
memikirkan nasib rakyat. Sudah saat colonial membebaskan rakyat dari
kemelaratan dan kebodohan itu, sudah banyak sudah sumber alam yang
dikeruk dari Indonesia. Sehingga muncul faham politik etis yang di
ujarkan Van Deventer, yakni politik balas budi atau balas jasa, balas
kehormatan belanda terhadap Indonesia. Politik etis dapat diterapkan
dengan trilogi van Deventer yang di antara isinya adalah peningkatan
pendidikan (edukasi) Indonesia. Sehingga para putra-putri Indonesia
dapat merasakan pendidikan, meskipun dalam tingkatan rendah. Namun ada
juga dari sebagian golongan tertentu dapat melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi, bahkan dapat meneruskan hingga sarjana dan ada juga yang
hingga pendidikan barat.
Dengan adanya kesempatan menikmati pendidikan tersebut meski tingkat
rendah dan sedikit telah melahirkan elit baru bangsa Indonesia, yakni
golongan intelektual (Pelajar) Yang kemudian mereka itulah yang menjadi
pelopor, penggerak, pemimpin dalam menentukan nasib serta membawa bangsa
Indonesia kea rah yang lebih baik.
Telah dipahami oleh para pendidik bahwa misi pendidikan adalah
mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Jangan sampai
generasi itu terputuskan dengan begitu saja. Ilmu yang dimaksud antara
lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara
umum penularan ilmu tersebut telah di emban oleh orang-orang yang
terbeban terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang
punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan
beradab.
Secara historis kita ketahui bagaimana fase-fase yang mewarnai
pendidikan bangsa Indonesia mulai dari pendidikan hindu-budha, yang
kemudian pendidikan islam, pendidikan masa colonial belanda, pendidikan
militer jepang hingga era reformasi bahkan hingga sekarang ini. Meski
bagaimana model yang diterapkan pada pendidikan prasejarah tersebut
belum dapat dipastikan informasi tentang bagaimana rekontruksinya, namun
dapat diasumsi yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks social
yang sederhana. Terutama yang berkaitan dengan lingkungan social
sekitarnya.
Namun belajar dari perjuangan nenek moyang pendahulu kita,
apakah Indonesia saat ini sudah mengetahui apa sebenarnya hakekat
pendidikan?
Ironis dan memperhatinkan memang ketika sekarang kota lihat
bagaimana lembaga pendidikan tak ubahnya mesin cetak ijazah yang
canggih. Hanya demi bagaimana sekolahannya laku iming-iming cepat lulus,
akreditasi disetarakan, dsb. Bisakah kita harapkan dari pendidikan yang
fiktif belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek jual beli
ijazah yang terjadi di Indonesia telah merata, bagaimana kita bisa
dapatkan title dengan cara yang begitu instant tanpa ada kerja keras
yang pantas untuk dapatkan gelar tersebut. Lalu apakah kemudian ketika
diterapkan dalam masyarakat bisakah memenuhi target? Apa bukan cara
instant lagi yang bakal ia tempuh.
Tak hanya itu, kita tahu dimana-mana sekolahan sekarang bukan
lagi lembaga pendidikan yang bakal mencetak golongan-golongan
intelektual yang mampu diandalkan. Tapi sekolahan sekarang tak ubahnya
sebagai perusahaan keluarga yang menjanjikan. Tak peduli lulusan SMP,
tak peduli mutu tak tinggi, yang penting mempunyai silsilah dalam
kekuasaan lembaga akan dijadikan bagian dari lembaga tersebut. Mulai
dari karyawan, dan bahkan guru. Padahal seorang guru adalah sosok yang
menjadi panutan, sosok yang harus menjadi suri tauladan. Tapi kenapa
dipilih hanya asal-asalan?
Tentu saat ia mengajar asal-asalan pula yang bakal diberikan.
Mungkin kalau Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan Indonesia seperti
saat ini tentu tidak bisa kita bayangkan berapa airmata yang keluar dari
matanya.
Sehingga tak heran kalau pemuda sekarang banyak mengalami kemunduran,
Mulai dari krisis identitas, daya kritis kurang, daya kreatif kurang,
sering ikut ikutan, kurang mandiri dan sebagainya, hal itu tak lain
dikarenakan sistem Pendidikan sekarang yang kurang baik dan kurang tepat
sasaran. Pengajaran biasanya hanya terjadi satu arah saja , antara guru
ke murid, daya Partisipasi murid biasanya kurang, mereka mengalami
kebosanan dan kejenuhan dalam belajar. Bagaimana tidak pelajaran
diberikan dalam bentuk teori teori barat dalam bentuk tulisan, bacaan,
maupun penjelasan dari Guru tanpa diimbangi dengan praktek yang nyata,
hal tersebut membuat kebosanan menghinggapi Pelajar. Penjelasan
penjelasan tarsebut hanya didengar dari telinga kanan dan kemudian
keluar lagi dari telinga kiri (lupa). Evaluasi belajar pun hanya
mengandalkan nilai nilai teori, hal itu memungkinkan pelajar hanya
menghafal saja & pemahaman mereka kurang, sedangkan menurut teori
yang ada, menghafal hanya dapat menyimpan memori ke dalam otak hanya
sementara saja, artinya setelah evaluasi berakhir setelah beberapa
hari/minggu, mereka akhirnya lupa akan pelajaran yang telah diberikan
oleh gurunya selama berbulan bulan, artinya pengajaran selama ini Sia
sia.
Dibalik semua itu pendidikan kita saat ini yang
digembor-gemborkan hanyalah kurikulum, yang katanya dengan yang baru
kita bisa lebih maju, dengan yang baru kita bisa bersaing. Tapi nyatanya
sampai saat ini pendidikan hanya sebagai kelinci percobaan yang kalau
memang dirasa gagal kita tinggal mencari pengganti yang hanya katanya lebih oke dari sebelumnya.
Kalau kita ingat pada tahun 2005. pemerintah sempat mempunyai
penemuan baru dimana pada sistem pendidikan yang baru itu pemerintah
akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur
formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan
perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri
diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial.
Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara
finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.
Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya
sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol
memang. Aku sampai tidak habis pikir bisa-bisanya pendidikan
dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat fianansial dari peserta didik.
Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan
disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat
menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah
Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen
siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan
jalur formal mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk
kebodohan yang lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang
siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal
mandiri yang nota bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi
seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah
diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan
tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian
sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias
hibahan dari tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan
siswa miskin ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?
Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?
Pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar
ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah
Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada
pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan
gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan
sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan
sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.
Lantas bagaimana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau
dibawa ke mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah
menjadi barang dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa
selembar sertifikat dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan
apakah pendidikan hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja? Orang
miskin tak patut untuk sekolah?
Semuanya terkesan memberatkan, di mata orang yang kurang mampu.
Tidak semua orang bisa mengecap indahnya dunia sekolah. Tanya saja ada anak jalanan, yang harus mempertahankan hidupnya di jalan demi kelanjutan hidup.
Jika mereka sudah masuk sekolah pun, masalah belum selesai. Harga buku yang relatif mahal menjadi batu sandungan. Belum lagi keharusan membeli seragam. Keharusan iuran ini-itu . Belum lagi sekolah yang rusak sana-sini, menunggu hujan dan roboh.
Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan memang tidak diam melihat hal ini. Berbagai program coba digulirkan. Namun, tanpa pengawasan dan niat baik dari eksekutor program ini, banyak program malah jadi lahan KKN baru bagi pelaksananya.
Tidak semua orang bisa mengecap indahnya dunia sekolah. Tanya saja ada anak jalanan, yang harus mempertahankan hidupnya di jalan demi kelanjutan hidup.
Jika mereka sudah masuk sekolah pun, masalah belum selesai. Harga buku yang relatif mahal menjadi batu sandungan. Belum lagi keharusan membeli seragam. Keharusan iuran ini-itu . Belum lagi sekolah yang rusak sana-sini, menunggu hujan dan roboh.
Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan memang tidak diam melihat hal ini. Berbagai program coba digulirkan. Namun, tanpa pengawasan dan niat baik dari eksekutor program ini, banyak program malah jadi lahan KKN baru bagi pelaksananya.
Kalu kita tarik kesimpulan hal itu yang sekarang dikembangkan di
Indonesia, hanya kaum hedonis yang bisa merasakan nikmatnya pendidikan
tapi kaum marjinal hanya bisa melihat kenikmatan itu dirasakan mereka.
Memang sekolah harus mahal, dan hal itu sudah menjadi topic yang benar bagi kaum awam hingga kaum pejabat pendidikan. benarkah?
Mulai dari TK biaya yang harus dikeluarkan sudah puluhan
juta, belum lagi memasuki jenjang yang lebih tinggi, bahkan universitas.
baik yang faforit atau yang irit. Sudah hamper mencapai 100 juta. Gila
memang. Tapi mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti
tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun
bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh
sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah
yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian
kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang pecus. Ada baiknya
swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan
dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti
bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja.
Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah
besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga
pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat
ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat
ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun
moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Moral seperti apakah yang patut kita banggakan pada kaum pelajar kita
saat ini? Apakah sifat hedonis yang dialami para pelajar SMA dengan
saling memamerkan motor yang dibelikan orang tuanya, menggeber-nggeber
kesana kemari tawuran, membuat resah masyarakat, dan sebagainya. Ataukah
moral pelajar yang romantis? Yang dijalan-jalan kita lihat bagaimana
mereka mengumbar kemesraan dengan kekasihnya, belum lagi fenomena siswi
hamil yang seakan menjadi tren dalam dunia SMA.
Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang
berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian
tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu dunia.
Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori
kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi Indonesia
jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos
(109).
Dan untuk di tahun 2011 indonesia menduduki peringkat ke 69 yang
kemarin pada tahun 2010 menduduki peringkat ke 65. bukan tingkat yang
lebih baik yang didapatkan, tetapi penurunan yang justru mewarnai dunia
pendidikan.
Betapa semrawutnya kondisi pendidikan Indonesia saat ini, tidak
seharusnya menumpulkan harapan kita akan masa depan yang lebih baik.
Cita-cita luhur pendidikan sekarang terkesan jauh dan cenderung menjauh
dari cita-cita pendidikan itu sendiri. Mari ‘beromantisme’ dengan tokoh
pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara dengan konsep cipta-rasa-karsa, tut wuri handayani penting
untuk digali kembali. Konsep Ki Hajar mengartikulasi cita-cita luhur
dari UUD 45 dengan menimba dan mengembangkan konsep pendidikan dari
tanah sendiri. Konsepnya mengartikulasi pendidikan yang universal.
Hal ini memberi isyarat pentingnya menciptakan keadaban pendidikan
dengan pola sendiri, menggali kultur sendiri sebagai jalan untuk selaras
dan harmonis dalam kedamaian hidup. Nilai-nilai ajaran universal dari
Ki Hajar Dewantara perlu digali kembali untuk memaknai pendidikan di
Indonesia yang sudah mengarah ke komersialisasi.
Situasi pendidikan di Indonesia saat ini, memijam istilah Sindhunata,
pendidikan turbo yang instrumentalis, pragmatis, dan konsumeristis.
dan cita-cita pendidikan pun menjauh. Pendidikan turbo yang membelenggu
anak didik, dan menjauhkan diri dari cita-cita awal seperti amanat
konstitusi UUD 45. Carut marut pendidikan bangsa ini sangat penting
untuk dicarikan jalan keluar.