Subscribe:

Rabu, 21 Maret 2012

CARUT MARUT DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA


Pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan dan pondasi utama untuk membangun peradaban bangsa. Kesadaran akan arti penting pendidikan akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin dan masa depan warganya. Oleh karena itu substansi pendidikan, materi pengajaran dan metodologi pembelajaran, serta manajemen pendidikan yang akuntabel susah seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara Negara. Terbukti bahwa seluruh bangsa yang berhasil mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan teknologi tinggi mesti disangga oleh kualitas pendidikan yang sangat kokoh.

Seperti halnya jepang, bagaimana Negara tersebut bisa pulih dari keterpurukan akibat bom atom yang menghujat Negara tersebut pada perang dunia II Silam. Bukan berapa harta benda yang ada, bukan banyak rakyat yang hidup, bukan berapa rakyat yang mati. Akan tetapi pemeritahan waktu itu menanyakan “berapa guru yang masih hidup”. Artinya pemerintah tersebut yang diinginkan untuk dibenahi awal kali adalah pendidikan.

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam mewarnai kemerdekaan Negara Indonesia. Seperti kita ketahui bagaimana colonial menerapkan politik eksploitasi yang mengakibatkan bangsa kita mengalami hidup dalam kemelaratan dan kebodohan. Segala kebijakan politik diarahkan kepada pengerukan sumber daya alam yang hanya untuk kepentingan penjajah. Sebagai puncaknya, dengan adanya tanam paksa. Menjadikan masyarakat Indonesia semakin tak berdaya melawan kemiskinan dan penderitaan.
Hal tersebut menjadikan para tokoh-tokoh belanda yang berfahamkan humanis dan sosial democrat berbicara. Mereka memaksa kolinial untuk memikirkan nasib rakyat. Sudah saat colonial membebaskan rakyat dari kemelaratan dan kebodohan itu, sudah banyak sudah sumber alam yang dikeruk dari Indonesia. Sehingga muncul faham politik etis yang di ujarkan Van Deventer, yakni politik balas budi atau balas jasa, balas kehormatan belanda terhadap Indonesia. Politik etis dapat diterapkan dengan trilogi van Deventer yang di antara isinya adalah peningkatan pendidikan (edukasi) Indonesia. Sehingga para putra-putri Indonesia dapat merasakan pendidikan, meskipun dalam tingkatan rendah. Namun ada juga dari sebagian golongan tertentu dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, bahkan dapat meneruskan hingga sarjana dan ada juga yang hingga pendidikan barat.
Dengan adanya kesempatan  menikmati pendidikan tersebut meski tingkat rendah dan sedikit telah melahirkan elit baru bangsa Indonesia, yakni golongan intelektual (Pelajar) Yang kemudian mereka itulah yang menjadi pelopor, penggerak, pemimpin dalam menentukan nasib serta membawa bangsa Indonesia kea rah yang lebih baik.
Telah dipahami oleh para pendidik bahwa misi pendidikan adalah mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Jangan sampai generasi itu terputuskan dengan begitu saja. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah di emban oleh orang-orang yang terbeban terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab.
Secara historis kita ketahui bagaimana fase-fase yang mewarnai pendidikan bangsa Indonesia mulai dari pendidikan hindu-budha, yang kemudian pendidikan islam, pendidikan masa colonial belanda, pendidikan militer jepang hingga era reformasi bahkan hingga sekarang ini. Meski bagaimana model yang diterapkan pada pendidikan prasejarah tersebut belum dapat dipastikan informasi tentang bagaimana rekontruksinya, namun dapat diasumsi yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks social yang sederhana. Terutama yang berkaitan dengan lingkungan social sekitarnya.
Namun belajar dari perjuangan nenek moyang pendahulu kita, apakah Indonesia saat ini sudah mengetahui apa sebenarnya hakekat pendidikan?
Ironis dan memperhatinkan memang ketika sekarang kota lihat bagaimana lembaga pendidikan tak ubahnya mesin cetak ijazah yang canggih. Hanya demi bagaimana sekolahannya laku iming-iming cepat lulus, akreditasi disetarakan, dsb. Bisakah kita harapkan dari pendidikan yang fiktif belaka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek jual beli ijazah yang terjadi di Indonesia telah merata, bagaimana kita bisa dapatkan title dengan cara yang begitu instant tanpa ada kerja keras yang pantas untuk dapatkan gelar tersebut. Lalu apakah kemudian ketika diterapkan dalam masyarakat bisakah memenuhi target? Apa bukan cara instant lagi yang bakal ia tempuh.
Tak hanya itu, kita tahu dimana-mana sekolahan sekarang bukan lagi lembaga pendidikan yang bakal mencetak golongan-golongan intelektual yang mampu diandalkan. Tapi sekolahan sekarang tak ubahnya sebagai perusahaan keluarga yang menjanjikan. Tak peduli lulusan SMP, tak peduli mutu tak tinggi, yang penting mempunyai silsilah dalam kekuasaan lembaga akan dijadikan bagian dari lembaga tersebut. Mulai dari karyawan, dan bahkan guru. Padahal seorang guru adalah sosok yang menjadi panutan, sosok yang harus menjadi suri tauladan. Tapi kenapa dipilih hanya asal-asalan?
Tentu saat ia mengajar asal-asalan pula yang bakal diberikan. Mungkin kalau Ki Hajar Dewantara melihat pendidikan Indonesia seperti saat ini tentu tidak bisa kita bayangkan berapa airmata yang keluar dari matanya.
Sehingga tak heran kalau pemuda sekarang banyak mengalami kemunduran, Mulai dari krisis identitas, daya kritis kurang, daya kreatif kurang, sering ikut ikutan, kurang mandiri dan sebagainya, hal itu tak lain dikarenakan sistem Pendidikan sekarang yang kurang baik dan kurang tepat sasaran. Pengajaran biasanya hanya terjadi satu arah saja , antara guru ke murid, daya Partisipasi murid biasanya kurang, mereka mengalami kebosanan dan kejenuhan dalam belajar. Bagaimana tidak pelajaran diberikan dalam bentuk teori teori barat dalam bentuk tulisan, bacaan, maupun penjelasan dari Guru tanpa diimbangi dengan praktek yang nyata, hal tersebut membuat kebosanan menghinggapi Pelajar. Penjelasan penjelasan tarsebut hanya didengar dari telinga kanan dan kemudian keluar lagi dari telinga kiri (lupa). Evaluasi belajar pun hanya mengandalkan nilai nilai teori, hal itu memungkinkan pelajar hanya menghafal saja & pemahaman mereka kurang, sedangkan menurut teori yang ada, menghafal hanya dapat menyimpan memori ke dalam otak hanya sementara saja, artinya setelah evaluasi berakhir setelah beberapa hari/minggu, mereka akhirnya lupa akan pelajaran yang telah diberikan oleh gurunya selama berbulan bulan, artinya pengajaran selama ini Sia sia.
Dibalik semua itu pendidikan kita saat ini yang digembor-gemborkan hanyalah kurikulum, yang katanya dengan yang baru kita bisa lebih maju, dengan yang baru kita bisa bersaing. Tapi nyatanya sampai saat ini pendidikan hanya sebagai kelinci percobaan yang kalau memang dirasa gagal kita tinggal mencari pengganti yang hanya katanya lebih oke dari sebelumnya.
Kalau kita ingat pada tahun 2005. pemerintah sempat mempunyai penemuan baru dimana pada sistem pendidikan yang baru itu pemerintah akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.
Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol memang. Aku sampai tidak habis pikir bisa-bisanya pendidikan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat fianansial dari peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk kebodohan yang lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang nota bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?
Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?
Pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.
Lantas bagaimana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau dibawa ke mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah menjadi barang dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa selembar sertifikat dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan apakah pendidikan hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja? Orang miskin tak patut untuk sekolah?
Semuanya terkesan memberatkan, di mata orang yang kurang mampu.
Tidak semua orang bisa mengecap indahnya dunia sekolah. Tanya saja ada anak jalanan, yang harus mempertahankan hidupnya di jalan demi kelanjutan hidup.
Jika mereka sudah masuk sekolah pun, masalah belum selesai. Harga buku yang relatif mahal menjadi batu sandungan. Belum lagi keharusan membeli seragam. Keharusan iuran ini-itu . Belum lagi sekolah yang rusak sana-sini, menunggu hujan dan roboh.
Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan memang tidak diam melihat hal ini. Berbagai program coba digulirkan. Namun, tanpa pengawasan dan niat baik dari eksekutor program ini, banyak program malah jadi lahan KKN baru bagi pelaksananya.
Kalu kita tarik kesimpulan hal itu yang sekarang dikembangkan di Indonesia, hanya kaum hedonis yang bisa merasakan nikmatnya pendidikan tapi kaum marjinal hanya bisa melihat kenikmatan itu dirasakan mereka.
Memang sekolah harus mahal, dan hal itu sudah menjadi topic yang benar bagi kaum awam hingga kaum pejabat pendidikan. benarkah?
Mulai dari TK biaya yang harus dikeluarkan sudah puluhan juta, belum lagi memasuki jenjang yang lebih tinggi, bahkan universitas. baik yang faforit atau yang irit. Sudah hamper mencapai 100 juta. Gila memang. Tapi mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang pecus. Ada baiknya swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja.
Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Moral seperti apakah yang patut kita banggakan pada kaum pelajar kita saat ini? Apakah sifat hedonis yang dialami para pelajar SMA dengan saling memamerkan motor yang dibelikan orang tuanya, menggeber-nggeber kesana kemari tawuran, membuat resah masyarakat, dan sebagainya. Ataukah moral pelajar yang romantis? Yang dijalan-jalan kita lihat bagaimana mereka mengumbar kemesraan dengan kekasihnya, belum lagi fenomena siswi hamil yang seakan menjadi tren dalam dunia SMA.
Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang, yang mencapai posisi nomor satu dunia.
Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Dan untuk di tahun 2011 indonesia menduduki peringkat ke 69 yang kemarin pada tahun 2010 menduduki peringkat ke 65. bukan tingkat yang lebih baik yang didapatkan, tetapi penurunan yang justru mewarnai dunia pendidikan.
Betapa semrawutnya kondisi pendidikan Indonesia saat ini, tidak seharusnya menumpulkan harapan kita akan masa depan yang lebih baik. Cita-cita luhur pendidikan sekarang terkesan jauh dan cenderung menjauh dari cita-cita pendidikan itu sendiri. Mari ‘beromantisme’ dengan tokoh pendidikan bangsa, Ki Hajar Dewantara dengan konsep cipta-rasa-karsa, tut wuri handayani penting untuk digali kembali. Konsep Ki Hajar mengartikulasi cita-cita luhur dari UUD 45 dengan menimba dan mengembangkan konsep pendidikan dari tanah sendiri. Konsepnya mengartikulasi pendidikan yang universal.
Hal ini memberi isyarat pentingnya menciptakan keadaban pendidikan dengan pola sendiri, menggali kultur sendiri sebagai jalan untuk selaras dan harmonis dalam kedamaian hidup. Nilai-nilai ajaran universal dari Ki Hajar Dewantara perlu digali kembali untuk memaknai pendidikan di Indonesia yang sudah mengarah ke komersialisasi.
Situasi pendidikan di Indonesia saat ini, memijam istilah Sindhunata,  pendidikan turbo yang instrumentalis, pragmatis, dan konsumeristis. dan cita-cita pendidikan pun menjauh. Pendidikan turbo yang membelenggu anak didik, dan menjauhkan diri dari cita-cita awal seperti amanat konstitusi UUD 45. Carut marut pendidikan bangsa ini sangat penting untuk dicarikan jalan keluar.